Wednesday, February 18, 2015

Dzun An-Nun Al-Mishri

Sufi agung yang memberikan kontribusi besar terhadap dunia pemahaman dan pengamalan hidup dan kehidupan secara mendalam antara makhluk dengan sang pencipta, makhluk dan sesama ini mempunyai nama lengkap al-Imam al-A’rif al-Sufy al-Wasil Abu al-Faidl Tsauban bin Ibrahim, dan terkenal dengan Dzunnun al-Misry, wafat pada tahun 245 H/859 M. Kendati demikian besar nama yang disandangnya namun tidak ada catatan sejarah tentang kapan kelahirannya.

Ayahnya berasal dari Naubi ( sabuah negara di Timur Laut Afrika, berbatasan dengan Mesir dan Laut Merah, Padang Libia dan Khortum). Beliau seorang yang sangat terhormat, paling alim, wara', kharismatik dan seorang sastrawan pada masanya. Beliau pernah mendapat fitnah hingga diadukan kepada Khalifah Al Mutawakkil dan dipanggilnya dari Mesir. Ketika beliau datang dan memberi nasihat kepada Khalifah Al Mutawakkil, Khalifah pun menangis dan berbalik menghormatinya. Dikatakan bahwa ketika dituturkan seorang ahli wara',  maka Khalifah mengucapkan LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAH kepada Dzun Nun Al Mishri. Dzun Nun adalah seorang yang kurus berkulit putih kemerehan dan tidak berjenggot putih.

Julukan Dzun Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberikan Allah kepadanya. Di antaranya ia pernah mengeluarkan anak dari perut buaya di sungai nil dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut. Dalam kisah lain disebutkan suatu ketika Dzun Nun menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan permata yang amat berharga. Dzun Nun dituduh mencurinya.Dzun Nun disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang hilang itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdo’a “Wahai Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu. Mendadak muncullah ribuan ekor ikan Nun ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata yang lebih besar dan indah di mulut masing-masing ikan. Dzun Nun lalu mengambil salah satu permata dan menyerahkannya ke saudagar tersebut. Sejak peristiwa aneh itu, ia digelari Dzun Nun, artinya yang empunya ikan nun.
Riwayat hidup Dzun Nun al Mishri tidak banyak diketahui, namun riwayatnya sebagai seorang sufi banyak dibicarakan. Dzun Nun dalam perjalanan hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, Makkah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Libanon, Antiokia, dan lembah Kan’an. Hal ini memungkinkan baginya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalami sejumlah ilmu. Beliau pernah belajar pada Imam Malik bin Anas di Madinah, dan sering bertemu dengan Ahmad bin Hambal, Ma’ruf al Kakhy, Sirri al Saqathi dan Bisri al Hafi. Semuanya adalah tokoh-tokoh tasawuf terkemuka pada zaman itu.

Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya adalah al Hassan ibn Mush’ib an Nakha’i. Sedangkan gurunya di bidang tasawuf adalah syarqam al Abd atau Israfil al Maghribi sehingga memungkinkan baginnya untuk menjadi seorang yang ‘alim, baik dalam ilmu syari’at maupun tasawuf.

Dzun Nun al Mishri adalah orang pertama yang memberikan tafsiran tentang isyarat-isyarat tasawuf, walaupun ada sejumlah guru sufi sebelum Dzun Nun. Ia orang pertama Mesir yang berbicara tentang maqamat dan ahwal, orang yang pertama memberikan definisi tentang tauhid dengan pengertian bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran tasawuf. Dengan demikian tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf di dPerjalanan ke Dunia Tasawuf
Banyak cara kalau Allah berkehendak menjadikan hambanya menjadi kekasihnya. Kadang berliku penuh onak dan duri. Kadang lurus bak jalan bebas hambatan. Kadang melewati genangan lumpur dan limbah dosa. Tak dikecualikan apa yang terjadi pada Dzunnun al-Misri. Bukan wali yang mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang mewejangnya mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya.

Pengarang kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby menghadap Dzunnun dan bertanya “Wahai Abu al-Faidl!” begitu ia memanggil demi menghormatinya. “Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah Swt?“ “Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu.” Begitu jawab al-Misri seperti sedang berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran “Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan padaku.” lalu Dzunnun berkata: “Suatu ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkuk berisi biji-bijian Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk bertekad: “Cukup… aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri pada Allah Swt. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku”.

Perjalanan Ruhaniah

Ketika si kaya tak juga kenyang dengan bertumpuknya harta. Ketika politisi tak jua puas dengan indahnya kursi. Maka kaum sufipun selalu haus dengan kedekatan lebih dekat dengan Sang Kekasih sejati. Selalu ada kenyamanan yang berbeda. Selalu ada kebahagiaan yang tak sama.

Maka demikianlah, Dzunnun al-Misri tidak puas dengan hikmah yang ia dapatkan dari burung kecil tak berdaya itu. Baginya semuanya adalah media hikmah. Batu, tumbuhan, wejangan para wali, hardikan pendosa, jeritan kemiskinan, rintihan orang hina semua adalah hikmah.

Suatu malam, tatkala Dzunnun bersiap-siap menuju tempat untuk ber-munajat ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang nampaknya baru saja mengarungi samudera kegundahan menuju ke tepi pantai kesesatan. Dalam senyap laki-laki itu berdoa “Ya Allah Engkau mengetahui bahwa aku tahu ber-istighfar dari dosa tapi tetap melakukannya adalah dicerca. Sungguh aku telah meninggalkan istighfar, sementara aku tahu kelapangan rahmatmu. Tuhanku… Engkaulah yang memberi keistimewaan pada hamba-hamba pilihan-Mu dengan kesucian ikhlas. Engkaulah Zat yang menjaga dan menyelamatkan hati para auliya’ dari datangnya kebimbangan. Engkaulah yang menentramkan para wali, Engkau berikan kepada mereka kecukupan dengan adanya seseorang yang bertawakkal. Engkau jaga mereka dalam pembaringan mereka, Engkau mengetahui rahasia hati mereka. Rahasiaku telah terkuak di hadapan-Mu. Aku di hadapan-Mu adalah orang lara tiada asa.“ Dengan khusyu’ Dzunnun menyimak kata demi kata rintihan orang tersebut. Ketika dia kembali memasang telinga untuk mengambil hikmah di balik ratapan lelaki itu, suara itu perlahan menghilang sampai akhirnya hilang sama sekali di telan gulitanya sang malam namun menyisakan goresan yang mendalam di hati sang wali ini.

Di saat yang lain ia bercerita pernah mendengar seorang ahli hikmah di lereng gunung Muqottom. “Aku harus menemuinya.“, begitu ia bertekad kemudian. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan iapun bisa menemukan kediaman lelaki misterius. Selama 40 hari mereka bersama, merenungi hidup dan kehidupan, memaknai ibadah yang berkualitas dan saling tukar pengetahuan. Suatu ketika Dzunnun bertanya: “Apakah keselamatan itu?” Orang tersebut menjawab “Keselamatan ada dalam ketakwaan dan al-Muroqobah (mengevaluasi diri)” “Selain itu?”, pinta Dzunnun seperti kurang puas. “Menyingkirlah dari makhluk dan jangan merasa tentram bersama mereka!” “Selain itu?”, pinta Dzunnun lagi. “Ketahuilah Allah mempunyai hamba-hamba yang mencintai-Nya. Maka Allah memberikan segelas minuman kecintaan. Mereka itu adalah orang-orang yang merasa dahaga ketika minum, dan merasa segar ketika sedang haus”. Lalu orang tersebut meninggalkan Dzunnun al-Misri dalam kedahagaan yang selalu mencari kesegaran cinta Ilahi.

Kealiman Dzunnun al-Misri

Betapa indahnya ketika ilmu berhiaskan tasawuf. Betapa mahalnya ketika tasawuf berlandaskan ilmu. Dan betapa agungnya Dzunnun al-Misri yang dalam dirinya tertata apik kedalaman ilmu dan keindahan tasawuf. Nalar siapa yang mampu membanyah hujjahnya. Hati mana yang mampu berpaling dari untaian mutiara hikmahnya. Dialah orang Mesir pertama yang berbicara tentang urutan-urutan al-Ahwal dan al-Maqomaat para wali Allah.

Maslamah bin Qasim mengatakan “Dzunnun adalah seorang yang alim, zuhud wara’, mampu memberikan fatwa dalam berbagai disiplin ilmu. Beliau termasuk perawi Hadits“. Hal senada diungkapkan Al-Hafidz Abu Nu’aim dalam Hilyah-nya dan al-Dzahabi dalam Tarikh-nya bahwasannya Dzunnun telah meriwayatkan hadits dari Imam Malik, Imam Laits, Ibn Luha’iah, Fudail ibn Iyadl, Ibn Uyainah, Muslim al-Khowwas dan lain-lain. Adapun orang yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah al-Hasan bin Mus’ab al-Nakha’i, Ahmad bin Sobah al-Fayyumy, al-Tho’i dan lain-lain. Imam Abu Abdurrahman al-Sulamy menyebutkan dalam Tobaqoh-nya bahwa Dzunnun telah meriwayatkan hadis Nabi dari Ibn Umar yang berbunyi “Dunia adalah penjara orang mu’min dan surga bagi orang kafir.”

Di samping lihai dalam ilmu-ilmu Syara’, sufi Mesir ini terkenal dengan ilmu lain yang tidak digoreskan dalam lembaran kertas, dan datangnya tanpa sebab. Ilmu itu adalah ilmu Ladunni yang oleh Allah hanya khusus diberikan pada kekasih-kekasih-Nya saja.

Karena demikian tinggi dan luasnya ilmu sang wali ini, suatu ketika ia memaparkan suatu masalah pada orang di sekitarnya dengan bahasa Isyarat dan Ahwal yang menawan. Seketika itu para ahli ilmu fiqih dan ilmu ‘dhahir’ timbul rasa iri dan dan tidak senang karena Dzunnun telah berani masuk dalam wilayah (ilmu fiqih) mereka. Lebih-lebih ternyata Dzunnun mempunyai kelebihan ilmu Robbany yang tidak mereka punyai. Tanpa pikir panjang mereka mengadukannya pada Khalifah al-Mutawakkil di Baghdad dengan tuduhan sebagai orang Zindiq yang memporak-porandakan syari’at. Dengan tangan dirantai sufi besar ini dipanggil oleh Khalifah bersama murid-muridnya. “Benarkah engkau ini zahidnya negeri Mesir?” Tanya khalifah kemudian. “Begitulah mereka mengatakan”. Salah satu pegawai raja menyela: “Amir al-Mu’minin senang mendengarkan perkataan orang yang zuhud, kalau engkau memang zuhud ayo bicaralah.”

Dzunnun menundukkan muka sebentar lalu berkata “Wahai amiirul mukminin…. Sungguh Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembahnya dengan cara yang rahasia, tulus hanya karena-Nya. Kemudian Allah memuliakan mereka dengan balasan rasa syukur yang tulus pula. Mereka adalah orang-orang yang buku catatan amal baiknya kosong tanpa diisi oleh malaikat. Ketika buku tadi sampai ke hadirat Allah Swt, Allah akan mengisinya dengan rahasia yang diberikan langsung pada mereka. Badan mereka adalah duniawi, tapi hati adalah samawi…….”.

Dzunnun meneruskan mauidzoh-nya sementara air mata Khalifah terus mengalir. Setelah selesai berceramah, hati Khalifah telah terpenuhi oleh rasa hormat yang mendalam terhadap Dzunnun. Dengan wibawa khalifah berkata pada orang-orang datang menghadiri mahkamah ini: “Kalau mereka ini orang-orang Zindiq maka tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini”. Sejak saat itu Khalifah al-Mutawaakil ketika disebutkan padanya orang yang Wara’ maka dia akan menangis dan berkata “Ketika disebut orang yang Wara’ maka marilah kita menyebut Dzunnun”. unia Islam.

Cinta dan Ma’rifat

Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang : “Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?” “Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku.“, jawab Dzunnun. “Kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku.” Lebih jauh tentang ma’rifat ia memaparkan: “Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya.” “Ma’rifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluq, bagaimana Allah menjadikannya”.

Tentang cinta ia berkata: “Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah! Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah.” “Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad Saw dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya.” “Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat perkara: “cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Alquran yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan)”.

Karomah Dzunnun al-Misri

Imam al-Nabhani dalam kitabnya “Jami’ al-karamaat“ mengatakan: “Diceritakan dari Ahmad bin Muhammad al-Sulami: “Suatu ketika aku menghadap pada Dzunnun, lalu aku melihat di depan beliau ada mangkuk dari emas dan di sekitarnya ada kayu menyan dan minyak Ambar. Lalu beliau berkata padaku “engkau adalah orang yang biasa datang ke hadapan para raja ketika dalam keadaan bergembira.” Menjelang aku pamit beliau memberiku satu dirham. Dengan izin Allah uang yang hanya satu dirham itu bisa aku jadikan bekal sampai kota Balkh (kota di Iran).

Suatu hari Abu Ja’far ada di samping Dzunnun. Lalu mereka berbicara tentang ketundukan benda-benda pada wali-wali Allah. Dzunnun mengatakan “Termasuk ketundukan adalah ketika aku mengatakan pada ranjang tidur ini supaya berjalan di penjuru empat rumah lalu kembali pada tempat asalnya.” Maka ranjang itu berputar pada penjuru rumah dan kembali ke tempat asalnya.

Imam Abdul Wahhab al-Sya’roni mengatakan: “Suatu hari ada perempuan yang datang pada Dzunnun lalu berkata “Anakku telah dimangsa buaya.” Ketika melihat duka yang mendalam dari perempuan tadi, Dzunnun datang ke sungai Nil sambil berkata “Ya Allah… keluarkan buaya itu.” Lalu keluarlah buaya, Dzunnun membedah perutnya dan mengeluarkan bayi perempuan tadi, dalam keadaan hidup dan sehat. Kemudian perempuan tadi mengambilnya dan berkata “Maafkanlah aku, karena dulu ketika aku melihatmu selalu aku merendahkanmu. Sekarang aku bertaubat kepada Allah Swt.”

Wafat
Ketika Dzun-Nun sedang menjelang ajal di pembaringannya, teman-temannya bertanya, "Apa keinginanmu?" "Keinginanku adalah." jawabnya, "sebelum aku meninggalkan dunia ini, walaupun hanya sesaat, aku dapat mengenal-Nya." Ia lalu melantunkan bait-bait berikut:
Ketakutan menyia-nyiakanku.
Kerinduan melahapku.
Cinta memperdayakanku.
Allah kembali menghidupkanku.
Esok harinya ia tak sadarkan diri. Di malam ketika ia meninggal dunia, tujuh puluh orang berjumpa dengan Nabi saw. dalam mimpi mereka. Semuanya meriwayatkan bahwa Nabi saw. berkata, "Sahabat Allah datang. Aku keluar untuk menyambutnya."
Saat Dzun-Nun meninggal dunia, terlihat tulisan berwarna hijau di keningnya yang berbunyi: "Ini adalah sahabat Allah, ia wafat dalam cintanya kepada Allah. Ini adalah pembunuhan dengan 'pedang'-Nya."
Ketika orang-orang menggotong kerandanya ke Pemakaman, sinar matahari terasa amat panas. Burung-burung kemudian datang dengan mengepakkan sayap mereka, melindungi usungan jenazahnya dari sengatan sinar matahari, mulai dari rumah hingga ke pemakaman.
Saat jenazah Dzun-Nun diusung menuju pemakaman, seorang muazin melafalkan azan. Ketika muazin tersebut sampai pada kalimat syahadat, Dzun-Nun mengangkat satu jarinya hingga keluar dari sehubung kerandanya.
"Dia masih hidup!" teriak orang-orang. Mereka pun menurunkan usungan jenazah Dzun-Nun. Jarinya menunjuk, namun Dzun-Nun benar-benar sudah meninggal dunia. Betapa pun kerasnya orang-orang berusaha, mereka tidak mampu meluruskan jarinya.
Ketika masyarakat Mesir melihat kejadian itu, mereka semua merasa malu dan memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan yang telah mereka lakukan terhadap Dzun-Nun.

Demikianlah sekelumit kisah perjalanan hidup waliyullah, sufi besar Dzun Nun al-Misry yang wafat pada tahun 245 H. semoga Allah me-ridlai-nya.




0 comments:

Post a Comment

Copyright © 2012 Islam itu Mudah All Right Reserved